Dua pasang pria berumur sekira 40-an asyik bermain catur di kolong jembatan layang di bilangan Gudang Peluru, Tebet, Jakarta Selatan, di suatu siang. Tak peduli akan kereta api, suara bajaj, dan teriakan kondektur Metro Mini mencari calon penumpang, mereka bergeming memandangi bidak-bidak catur di atas meja.
Suasana bising memang sudah akrab dengan orang-orang yang berkumpul di Taman Catur. Meski membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi, layaknya pecatur profesional, raungan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang, bukan jadi penghalang para penggila catur ini menunaikan hobi mereka di sini.
“Engga, sudah biasa,” kata Rahmat (68) yang setiap hari mendatangi lokasi catur yang berada persis di bawah fly over dan di samping perlintasan kereta api Tebet.
Dulunya, tempat ini merupakan taman kosong yang hanya ditanami sedikit pohon serta tanaman dan pagar di sekelilingnya. Pagar setinggi dua meter itu masih ada hingga kini, sehingga bagi siapapun yang ingin masuk ke dalam area taman catur ini mesti membungkuk-bungkuk untuk melewati celah pagar.
Taman catur ini awalnya hadir dari kegiatan Jakarta Biennale XIII 2009 silam saat tiga seniman, Saleh Husein, Yusmario Farabi, dan Aprilia Apsari berinisiatif menegaskan keberadaan taman catur ini.
Sebelumnya, lokasi ini memang sudah menjadi tempat warga yang melepas lelah dan beristirahat untuk bermain catur. Namun, kondisinya saat itu masih jauh dari nyaman.
Berkat ketiga seniman itu, timbulah ide untuk menciptakan papan catur yang hanya dilukiskan di atas meja berikut kursinya. Mereka juga melukis mural bergambar bidak di dinding bawah fly over.
Meja-kursi itu dirancang untuk 16 orang dan tiap papan diberi jarak tertentu sehingga setiap warga tetap bisa bermain catur sambil meletakkan secangkir kopi atau gorengan. Kursi pun dirancang panjang agar bisa menampung warga yang ingin ikut menonton.
Meski fasilitas hanya seadanya, tapi pemain-pemain catur ini berasal dari semua kalangan mulai dari pedagang kaki lima, penjual makanan, tukang parkir, pengangguran, tukang ojek, sopir angkutan umum, pegawai kantoran, mahasiswa, hingga wartawan.
“Kemarin bahkan ada pengacara yang datang ke sini dan membayar dengan dollar Amerika,” kata Rahmat yang sudah dianggap sebagai bapak angkat bagi komunitas catur ini.
Tujuan mereka bermain catur tak lain untuk mengisi waktu luang dan melepas stres. Sambil menunggu pembeli atau penumpang datang, mereka memilih mengasah otak dalam mengatur strategi untuk mematikan ‘Raja’ sang lawan.
Apalagi, permainan ini sangat murah-meriah karena pemain cukup membayar Rp2 ribu untuk menyewa satu papan catur dan dengan ditemani kopi, minuman berenergi, atau gorengan, mereka bisa bermain sepuasnya dari pagi hingga tengah hari.
Namun, ada juga yang menjadikan ajang ini sebagai ajang mengeruk uang. Seperti Sodik (34), sebut saja begitu, yang saat ditemui di lokasi pada Senin (26/3) siang tengah bertaruh dengan rekannya.
“Tempat ini memang ramainya baru sore menjelang malam karena karyawan-karyawan kantoran baru datang di waktu tersebut, kalau pagi-pagi sampai siang kebanyakan pedagang kaki lima dan warga sekitar sini,” lanjut Rahmat.
Hebatnya, kegiatan yang tampaknya seperti iseng-iseng ini ternyata serius. Baru-baru ini ada salah seorang anggota Kombinasi Club, nama perkumpulan catur komunitas ini, dikirim ke Bandung untuk mengikuti turnamen catur.
“Sebelumnya juga sempat dikirim ke Surabaya dan Medan. Kombinasi Club ini kan memang ada ketua dan pengurusnya jadi mereka aktif mengikuti turnamen-turnamen catur di luar kota,” tutup Rahmat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar