Philona Mutesi (16) sedang berlatih di Kampala, Uganda. Mutesi kini berpeluang menjadi perempuan Uganda pertama yang meraih gelar grandmaster. Catur telah mengubah kehidupan Mutesi yang dulu terjerat kemiskinan.
KAMPALA, KOMPAS.com — Duduk di sebuah ruangan dengan
lampu remang-remang di distrik Katwe, Kampala, Uganda, Phiona Mutesi
menatap serius bidak-bidak catur di hadapannya, memikirkan langkah yang
akan diambil.
"Catur mengubah hidup saya," kata gadis berusia 16 tahun itu.
"Dulu, saya tidak memiliki harapan. Sekarang, saya punya harapan. Saya bisa menjadi dokter dan menjadi grandmaster," kata Mutesi sambil membenarkan letak kacamatanya.
Dulu kehidupan Mutesi sangat buruk. Ayahnya meninggal dunia saat dia masih bayi sehingga praktis Mutesi dibesarkan di jalanan.
Namun kini, di usianya yang baru 16 tahun, Mutesi adalah perempuan Uganda pertama yang mencapai tingkat kandidat untuk mencapai gelar grandmaster catur. Dia juga adalah juara bertahan turnamen catur di bawah usia 20 tahun di Uganda.
Kini studio film Disney telah membeli kisah hidup Mutesi untuk diangkat ke layar perak.
Meski saat ini tengah merengguk kesuksesan, persinggungan Mutesi dengan catur terjadi secara kebetulan.
Saat dia berusia sembilan tahun, Mutesi ikut kakak laki-lakinya ke sebuah klub catur. Mereka datang bukan karena ingin bermain catur, melainkan sekadar mencari semangkuk bubur gratis.
"Saya kemudian bertanya kepada diri saya sendiri 'permainan apa catur itu?' dan saya kemudian mulai mencoba," kenangnya.
Ternyata Mutesi menyimpan bakat terpendam untuk memainkan bidak-bidak catur. Dalam waktu singkat dia sudah mengalahkan hampir semua pengunjung klub catur itu, bahkan tak jarang dia mengalahkan orang yang berusia lebih tua darinya.
Bakatnya yang luar biasa itu membawa Mutesi menjadi anggota tim muda Uganda dan berpeluang untuk berkompetisi di turnamen paling bergensi, Olimpiade Catur.
"Saya tak menduga saya bisa sampai di sini sekarang," kata Mutesi.
"Catur mengubah hidup saya," kata gadis berusia 16 tahun itu.
"Dulu, saya tidak memiliki harapan. Sekarang, saya punya harapan. Saya bisa menjadi dokter dan menjadi grandmaster," kata Mutesi sambil membenarkan letak kacamatanya.
Dulu kehidupan Mutesi sangat buruk. Ayahnya meninggal dunia saat dia masih bayi sehingga praktis Mutesi dibesarkan di jalanan.
Namun kini, di usianya yang baru 16 tahun, Mutesi adalah perempuan Uganda pertama yang mencapai tingkat kandidat untuk mencapai gelar grandmaster catur. Dia juga adalah juara bertahan turnamen catur di bawah usia 20 tahun di Uganda.
Kini studio film Disney telah membeli kisah hidup Mutesi untuk diangkat ke layar perak.
Meski saat ini tengah merengguk kesuksesan, persinggungan Mutesi dengan catur terjadi secara kebetulan.
Saat dia berusia sembilan tahun, Mutesi ikut kakak laki-lakinya ke sebuah klub catur. Mereka datang bukan karena ingin bermain catur, melainkan sekadar mencari semangkuk bubur gratis.
"Saya kemudian bertanya kepada diri saya sendiri 'permainan apa catur itu?' dan saya kemudian mulai mencoba," kenangnya.
Ternyata Mutesi menyimpan bakat terpendam untuk memainkan bidak-bidak catur. Dalam waktu singkat dia sudah mengalahkan hampir semua pengunjung klub catur itu, bahkan tak jarang dia mengalahkan orang yang berusia lebih tua darinya.
Bakatnya yang luar biasa itu membawa Mutesi menjadi anggota tim muda Uganda dan berpeluang untuk berkompetisi di turnamen paling bergensi, Olimpiade Catur.
"Saya tak menduga saya bisa sampai di sini sekarang," kata Mutesi.
Pemain sepak bola
Orang yang berjasa membimbing dan memperkenalkan Mutesi dan anak-anak lain di permukiman kumuh Katwe dengan catur adalah Robert Katende.
Bekas pemain sepak bola ini mulai menekuni catur pada 2003, saat dia mendapatkan ide melatih catur untuk anak-anak jalanan.
"Saya membutuhkan landasan untuk menggapai anak-anak itu, jadi saya mengambil papan catur tua saya dan membawanya ke permukiman-permukiman kumuh," kata Katende (30).
Ternyata, anak-anak itu dengan cepat menyerap pelajaran catur yang diberikan Katende.
Bagi anak-anak di daerah kumuh yang berjuang demi makanan dan kediaman, Katende mengatakan, catur bisa memberikan pelajaran hidup yang luar biasa dan memberi mereka kepercayaan diri.
"Catur bukan sekadar permainan. Catur adalah jalan untuk mengubah hidup," ujar Katende.
"Dalam catur, Anda menghadapi tantangan dan Anda harus memikirkan langkah terbaik. Bagi anak-anak yang kemungkinan akan menjadi pencuri atau kriminal, catur memberi mereka kedisiplinan," papar Katende.
Orang yang berjasa membimbing dan memperkenalkan Mutesi dan anak-anak lain di permukiman kumuh Katwe dengan catur adalah Robert Katende.
Bekas pemain sepak bola ini mulai menekuni catur pada 2003, saat dia mendapatkan ide melatih catur untuk anak-anak jalanan.
"Saya membutuhkan landasan untuk menggapai anak-anak itu, jadi saya mengambil papan catur tua saya dan membawanya ke permukiman-permukiman kumuh," kata Katende (30).
Ternyata, anak-anak itu dengan cepat menyerap pelajaran catur yang diberikan Katende.
Bagi anak-anak di daerah kumuh yang berjuang demi makanan dan kediaman, Katende mengatakan, catur bisa memberikan pelajaran hidup yang luar biasa dan memberi mereka kepercayaan diri.
"Catur bukan sekadar permainan. Catur adalah jalan untuk mengubah hidup," ujar Katende.
"Dalam catur, Anda menghadapi tantangan dan Anda harus memikirkan langkah terbaik. Bagi anak-anak yang kemungkinan akan menjadi pencuri atau kriminal, catur memberi mereka kedisiplinan," papar Katende.
Memberi harapan
Klub
catur Katende kini sudah mendapat banyak kemajuan. Di hari-hari
pertama, Katende harus membuat sendiri papan catur dan bidaknya
menggunakan tutup botol.
Meski menghadapi banyak keterbatasan, klub catur ini sudah memiliki 63 anggota, dengan anggota termuda berusia empat tahun.
Salah satu anggotanya adalah Michael Talemwa (11). Seperti halnya anak-anak lain di klub ini, Talemwa tak melihat banyak kesempatan sebelum dia mengenal catur.
"Dulu saya tak punya kegiatan hingga seorang teman mengajak saya main catur," kata Talemwa.
"Awalnya saya ragu karena saya tak tahu apa pun soal catur, tapi kawan saya terus mengajak dan meyakinkan saya," tambah Talemwa.
Kini setelah berlatih selama dua tahun dan melihat kesuksesan salah seorang anggota klub seperti Phiona Mutesi, Talemwa mengatakan dia ingin menggapai kesuksesan seperti kawan-kawannya.
"Saya sangat gembira saat mendengar salah satu teman kami mencapai prestasi luar biasa. Saya harap saya bisa sesukses mereka," kata Talemwa.
Meski menghadapi banyak keterbatasan, klub catur ini sudah memiliki 63 anggota, dengan anggota termuda berusia empat tahun.
Salah satu anggotanya adalah Michael Talemwa (11). Seperti halnya anak-anak lain di klub ini, Talemwa tak melihat banyak kesempatan sebelum dia mengenal catur.
"Dulu saya tak punya kegiatan hingga seorang teman mengajak saya main catur," kata Talemwa.
"Awalnya saya ragu karena saya tak tahu apa pun soal catur, tapi kawan saya terus mengajak dan meyakinkan saya," tambah Talemwa.
Kini setelah berlatih selama dua tahun dan melihat kesuksesan salah seorang anggota klub seperti Phiona Mutesi, Talemwa mengatakan dia ingin menggapai kesuksesan seperti kawan-kawannya.
"Saya sangat gembira saat mendengar salah satu teman kami mencapai prestasi luar biasa. Saya harap saya bisa sesukses mereka," kata Talemwa.
Harapan Talemwa dan anak-anak lain di Kampala, Uganda, ini pun sekarang digantungkan di atas sebuah papan catur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar